Ahli Bedah Plastik Ciptakan Krim Atasi Keloid
UNAIR NEWS – Latar belakangnya sebagai dokter bedah plastik membuat Prof. Dr. David Sontani Perdanakusuma, dr., Sp.BP-RE (K) banyak bergelut dengan rekonstruksi dan perbaikan cacat tubuh manusia. Dari sederet tindakan operasi yang pernah ia lakukan membuatnya penasaran dengan jenis luka tubuh yang berserat, tebal dan berwarna kontras dengan kulit sekitarnya. Jenis luka ini disebut keloid. Dalam mengatasi keloid, pada umumnya dokter menggunakan berbagai cara, seperti operasi, suntikan kortison, cryotherapy, dan cara-cara lainnya. Namun, metode-metode itu tak dapat menghilangkan keloid. Bahkan, tindakan operasi justru memperbesar keloid. Tak jarang, keloid menjadi mimpi buruk bagi pasien ataupun dokter. Keloid tumbuh akibat aktivitas kolagen yang berlebih. Pertumbuhan kolagen dipengaruhi enzim kolagenase yang kurang terkontrol. Enzim kolagenase adalah enzim yang mengatalisis hidrolisis kolagen. “Versi saya, kolagen itu nggak akan berlebih kalau ada kolagenase. Jadi, saya bilang, kalau kolagenase berfungsi dengan bagus, mungkin tidak akan ada keloid. Karena semua yang berlebih dihancurkan. Jadi, (kolagenase berfungsi) seperti mandor,” imbuhnya. Dokter kelahiran Singkawang itu lantas kembali melanjutkan risetnya yang ia mulai sejak melakukan penelitian disertasi. Melanin, pewarna pada kulit, memiliki sifat kimia asam. Agar kolagenase berfungsi, maka enzim tersebut harus bersifat basa. Pada orang yang tidak berkulit putih, banyaknya melanin membuat suasana kulit bersifat asam. Akhirnya, David merumuskan cara agar melanin itu turun dengan pemutih yang menggunakan pelarut basa. Agar keadaan asam dan basa tak membuat kulit kian sensitif, ia mengombinasikan pemutih dengan liposom sehingga sifat basa baru keluar ketika sudah memasuki lapisan dermis. Pemutih yang ia gunakan adalah Hydroquinone dengan kadar empat persen. “Jadi, ide saya yang dipatenkan adalah pemutih dalam suasana basa untuk keloid. Karena dengan dikasih pemutih ke keloid, suasananya basa, kolagenasenya aktif, melaninnya turun sehingga suasana di dalam akan basa, kolagenasenya muncul (aktif) dan kolagen semua yang berlebih akan dipapas sehingga turun,” tutur David. Pemikirannya itu ia tuangkan dalam paten berjudul “Penggunaan Hidrokuinon untuk Mencegah dan Mengobati Keloid”. Pemutih keloid dalam suasana basa akhirnya berhasil dipatenkan pada tanggal 17 Oktober 2012 dengan nomor paten ID P0031959. Pendaftaran produknya menuju paten sempat melewati jalan berliku. Selain karena rutinitas, ide penggunaan pemutih untuk menyamarkan warna kulit dianggap bukan barang baru. “Saya mengurus paten sekitar tahun 2004, tetapi baru keluar tahun 2012. Delapan tahun. Karena hydroquinone bukan barang baru. Itu sudah lama dipakai untuk pemutih, tapi hydroquinone untuk keloid tidak pernah ada di dunia. Itu riset saya. Original,” tegas Wakil Dekan I FK UNAIR. Ia praktikkan itu ke pasien-pasiennya yang telah melalui tindakan operasi. Hasilnya, keloid jadi mengecil dan lebih cerah. Untuk keloid yang bentuknya besar, pemberian krim perlu dikombinasikan dengan tindakan bedah. “Krim itu bisa mengecilkan. Sedikit dipangkas. Tapi untuk mendapatkan hasil yang dramatis, perlu dikombinasi dengan tindakan bedah,” imbuh David. Selain pasien dengan keloid, dokter berusia 56 tahun itu pernah memberikan krim pemutihnya pada pasien dengan bekas cacar dan luka bakar. “Bekas luka bakar di tangan, saya kasih terus mulus. Ada luka trauma, bekas operasi, saya kasih kemudian memudar dan halus,” terang peraih penghargaan Science Achievement Award 2015 dari media Republika. Pemutih yang David gunakan saat ini mengandung empat persen hydroquinnon dalam suasana basa dengan derajat keasaman atau pH 7,5. Ia saat ini tengah mengembangkan krim dengan derajat keasaman 7,6 sebab angka ini merupakan angka yang ideal untuk kolagenase. Saat ini, oleh Institute of Tropical Disease UNAIR, krim pemutih milik David tengah dihilirisasi oleh salah satu industri farmasi di Indonesia. Uji produk krim pemutih milik Guru Besar bidang Ilmu Bedah Plastik ini dalam tahap uji stabilitas. Setelah uji stabilitas, tahap berikutnya adalah uji klinik di berbagai pusat kesehatan. Ia berharap, krim pemutihnya bisa memberi harapan baru bagi pasien dan tenaga medis dalam mengatasi keloid pada tubuh.
(*) Sumber : http://news.unair.ac.id/2017/01/25/ahli-bedah-plastik-ciptakan-krim-atasi-keloid/

Prof. Dr. David S Perdanakusuma, dr., Sp.BP-RE (K) saat di ruang kerjanya (Foto: UNAIR NEWS)
Prof. Dr. David S Perdanakusuma, dr., SpBP-RE(K)
MENRISTEK DIKTI tinjau hasil riset Salep Anti Keloid Prof. David

dr. Indri Lakhsmi Putri Sp.BP-RE (KKF) saat di Rumah Sakit Universitas Airlangga (Foto: UNAIR NEWS)
Dokter Bedah Plastik UNAIR Lakukan Operasi Le Fort III Advancement Pertama di Indonesia
UNAIR NEWS – Langkah UNAIR untuk menuju kampus 500 dunia semakin nyata, salah satunya dengan adanya kerjasama internasional yang dilakukan dalam segala bidang. Pada kesempatan ini, Fakultas Kedokteran UNAIR melalui dr. Indri Lakhsmi Putri Sp.BP-RE (KKF) akan mengadakan kerjasama dengan dua guru besar Erasmus Medical Center Belanda, Prof. Dr. Irene Margareet Jacqueline Mathijssen, Ph.D., M.D., dan Prof. Dr. Eppo Bonne Woluius, DDS., Ph.D., M.D., untuk melakukan operasi Le fort III Advancement pertama di Indonesia. “Jadi beliau semua itu adalah guru saya waktu kuliah di Belanda, pada kesempatan ini saya undang untuk menangani kasus-kasus seputar bedah plastik yang belum pernah ditangani di Indonesia,” jelasnya. Selain itu, dokter spesialis bedah plastik alumnus Erasmus Medical Center Belanda tersebut juga ditemani beberapa rekannya seperti Magda Rosaliana Hutagalung, dr., Sp.BP-RE (KKF) dan Lobredia Zarazade, dr., Sp.BP-RE (KKF). Operasi tersebut rencananya akan dibagi menjadi dua tim dalam dua hari. Hari pertama, Kamis (17/3) akan ditangani oleh Prof. Dr. Irene Margareet Jacqueline Mathijssen, Ph.D., M.D dan Prof. Dr. Eppo Bonne Woluius, DDS., Ph.D., M.D., dr. Indri Lakhsmi Putri Sp.BP-RE (KKF)., Magda Rosaliana Hutagalung, dr., Sp.BP-RE (KKF) dan Lobredia Zarazade, dr., Sp.BP-RE (KKF)., dan tim ortodensi untuk menangani pasien yang bernama Nur Alfia (8). Selanjutnya hari kedua, Jumat (18/3) akan ditangani oleh Prof. Dr. Irene Margareet Jacqueline Mathijssen, Ph.D., M.D., dr. Indri Lakhsmi Putri Sp.BP-RE (KKF) dan Magda Rosaliana Hutagalung, dr., Sp.BP-RE (KKF) dan Lobredia Zarazade, dr., Sp.BP-RE (KKF)., dan tim bedah saraf. “Masing-masing operasi tersebut direncanakan akan dimulai dari jam delapan pagi, kemungkinan akan berjalan selama empat jam, ya semoga lancar,” imbuhnya. Operasi yang akan mencetak sejarah baru bagi dunia kesehatan di Indonesia tersebut, akan dilakukan di Gedung Bedah Pusat Terpadu (GBPT) RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Selain itu, ditemui di Rumah Sakit UNAIR, dokter kelahiran Surabaya, 11 November 1983 tersebut juga menambahkan bahwa acara tersebut juga akan dibarengi dengan kuliah tamu. “Jadi selepas operasi berlangsung, kami akan adakan kuliah tamu untuk memperdalam kasus-kasus seperti ini,” pungkasnya. (*) Penulis: Nuri Hermawan